Selasa, 21 Agustus 2007

Cuplikan dari Rapat Pembahasan RPP Kepulauan



Saya pernah janji untuk melaporkan hasil pembahasan RPP Kepulauan, yang dilaksanakan oleh Subdit Batas Antar Daerah Ditjen PUM, Depdagri pada tanggal 31 Juli - 1 Agustus 2007 di Hotel Mercure Rekso. Jakarta. Kegiatan ini diikuti oleh beberapa Provinsi (sebenarnya seluruh Pemerintah Provinsi diundang, terutama Provinsi yang mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Kepulauan). Pelaksanaan rapat ini, didasarkan atas tuntutan 7 Provinsi (Provinsi Kepulauan) yang menginginkan penetapan luas lautan berdasarkan hukum laut UNCLOS 1982 (Konvensi Hukum Laut PBB 1982). Artinya luas laut dengan penarikan garis batas yang menghubungkan antar pulau terluar dari Provinsi sejauh 12 mil laut, termasuk kewenangan di dalamnya. Padahal dalam UNCLOS 1982 tersebut hanya mengakui hak Negara nusantara (Archipelagic State) untuk menarik garis-garis pangkal lurus nusantara (Archipelagic Straight Baselines) yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Negara nusantara Indonesia sesuai dengan Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Materi bahasan adalah :
1. Aspek Hukum Daerah Kepulauan ditinjau dari segi Hukum (Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), oleh Prof. Maria Farida.
2. Beberapa Pronsip Hukum Laut dan Implikasinya bagi Daerah Kepulauan/Gugusan Pulau-pulau, oleh Prof. Hasjim Djalal, M.A.
3. Perhiyungan Luas Wilayah Daerah Kepulauan/Gugusan Pulua-pulau ditinjau dari aspek Peta Laut, oleh Kajanhidros,
4. Perhitungan Dasar DAK/DAU bagi Daerah Kepulauan, oleh Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan, Diten OTDA Depdagri.
Pelaksanaan rapat prmbahasan RPP kepulauan ini didasarkan adanya pengakuan dunis internasional melalui UNCLOS 1982 bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan, sehingga Laut sebagai Wilayah memegang peranan strategis bagi Bangsa Indonesia.Sebagai implementasinya, Daerah mempunyai kewenangan di darat dan kewenangan pengelolaan di wilayah laut sebagaimana Pasal 4 beserta penjelasannya dan Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adanya dinamika di lapangan, dengan munculnya gagasan dari Pemerintahan Daerah Kepulauan/Gugusan Pulau-pulau agar cakupan wilayah Daerah Kepulauan/Gugusan Pulau-pulau penentuan luas wilayahnya didasarkan atas prinsip Negara Kepulauan.

Indonesia merupakan negara Kepulauan, di mana Laut sebagai wilayah memegang peranan penting yang memiliki makna dan fungsi yang sangat berarti bagi Bangsa Indonesia. Salah satu persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Deklarasi Juanda 13 Desember 1967, memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep wawasan nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara sebagai pemersatu Bangsa Indonesia, sukan sebagai pemisah, yang merupakan wilayah kedaulatan mutlak NKRI. Selanjutnya konsep ini diakui oleh dunia internasional. (UNCLOS 1982). Hal ini berimplikasi pada tanggung jawab besar kepada Indonesia untuk mengelola laut, karena Laut merupakan sumber perekonomian negara, Laut merupakan daerah perbatasan dengan negara tetangga (kepentingan regional perbatasan),Bagi Kepentingan Internasional Laut merupakan Perairan Vital yang dapat berpengaruh pada perdagangan, kepentingan pertahanan global dan keseimbangan ekosistem laut. Oleh karena itu terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan laut sebagai wilayah, yaitu :
1. Eksternal, yaitu bagaimana menata batas maritim dengan negara tetangga sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku, seperti laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan Ladas Kontinent.
2. Internal, yaitu menata wilayah laut, khususnya batas-batas peruntukan lahan laut sebagai suatu pengaturan pemanfaatan lahan lut seperti fungsi ekonomi, pertahanan dan keamanan serta konservasi yang mengakomodasi semua kepentingan dengan tetap mengutamakan asas persatuan dan kesatuan bangsa.

Perlu dipedomani segala ruang hukum yang terkait dengan wilayah indonesia sebagai archipelagic state yang memiliki 6 (enam) dari 8 (delapan) wilayah laut yang diatur menurut hukum laut yaitu : laut teritorial, laut pedalaman, laut kepulauan, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen, sehingga UNCLOS 1982 memberikan kepada Indonesia memiliki 3 (tiga) ruang yaitu :

1. Ruang kedaulatan, dimana negara memiliki kedaulatan penuh sampai dengan laut teritorial

2. Ruang kewenangan, dimana negara memiliki kedaulatan tertentu di zona tambahan antara lain untuk pertahanan dan keamanan, zona ekonomi ekslusif untuk penelitian dan eksploitasi sumber daya alam dan landas kontinen untuk eksploitasi sumber daya alam.

3. Ruang kepentingan yaitu ruang wilayah indonesia yang menjadi kepentingan internasional dan di wilayah laut negara lain dan di laut bebas yang menjadi kepentingan indonesia

Implikasi adanya ruang hukum tersebut di atas adalah bahwa UNCLOS 1982 tidak mengatur hubungan antara satu daerah dengan pemerintah daerah di negara lain, atau antar pemerintah daerah. Oleh karena itu, urusan laut merupakan urusan negara yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat (pemerintah)

Untuk jelasnya, di sini aku lampirkan materi bahasan Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A. sebagai salah satu Narasumber dalam rapat tersebut.

BEBERAPA PRINSIP HUKUM LAUT DAN IMPLIKASINYA BAGI DAERAH KEPULAUAN /GUGUSAN PULAU-PULAU

1. Dalam undang-undang otonomi daerah, Indonesia telah memberikan wewenang kepada daerah propinsi dan kabupaten / kota untuk mengelola laut sejauh 12 mil dan 4 mil masing-masing dari garis pantai pulau-pulaunya.Ketentuan ini jauh melebihi ketentuan dalam Negara federalpun, seperti Amerika Serikat dan Australia yang hanya memberikan wewenang tersebut sepanjang 3 mil dari pantai. Negara-negara European Union malah telah menyerahkan pengelolaan beberapa ketentuan hukum laut kepada European Union seperti masalah ZEE.

2. Dalam Undang-undang nomor 22/1999 dan Undang-undang nomor 32/2004 (pasal 18 ayat 4) dinyatakan bahwa 12 mil atau sepertiganya (4 Mil) diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau keperairan kepulauan, dan dalam ayat 5 nya dinyatakan bahwa kalau antara 2 provinsi jaraknya kurang dari 24 mil maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak, dan untuk kabupaten/kota “memperoleh sepertiga dari kewenangan provinsi dimaksud.’’ Tidak ada ketentuan pasal-pasal undang-undang otonomi daerah yang menyebutkan tentang perairan daerah kepulauan.

3. Konvensi hukum laut PBB 1982 hanya mengakui hak Negara nusantara (Archipelagic State) untuk menarik garis-garis pangkal lurus nusantara (Archipelagic Straight Baselines) yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Negara nusantara Indonesia sesuai dengan Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Indonesia adalah satu gugus kepulauan,dan karena itu diperkenankan menarik garis pangkal lurus nusantara yang mengelilingi seluruh nusantara Indonesia.Tidak ada ketentuan yang membolehkan provinsi, apalagi kabupaten dan kota yang memperkenankan mereka menarik garis pangkal lurus nusantara sebagai suatu konsep hukum. Memang ada usaha dari beberapa Negara untuk memperlakukan prinsip-prinsip kesatuan nusantara tersebut terhadap gugus-gugus pulau dari sesuatu Negara(Archipelago of a State),seperti usul-usul India terhadap kepulauan Andaman dan Nicobar, keinginan Yunani terhadap kepulauannya di laut Aegea, dan keinginan Negara Bagian Hawai untuk diberi kewenangan yang sama. Semua usul ini ditolak oleh konferensi hukum laut PBB dan karena itu tidak dimuat dalam UNCLOS 1982.

4. Karena itu pasal 47 UNCLOS 1982 hanya berlaku untuk Negara Nusantara/ Negara Kepulauan (Archipelagic State), bukan gugus pulau kepunyaan suatu Negara (Archipelago of a State). Memang ada gugus pulau sebagai konsep geografis didalam pasal 46 (b). Justru berdasarkan konsep Archipelago itulah dimunculkan konsep Archipelagic state. Karena itu jika suatu Negara kepulauan terdiri dari lebih dari satu gugus pulau yang jaraknya sangat jauh dari gugus pulau lainnya atau pulau-pulaunya diluar gugus pulau terletak sangat jauh ( lebih dari 100 mil ), maka Negara tersebut dapat dinyatakan sebagai Negara Nusantara yang terdiri dari satu atau lebih gugus pulau atau pulau lainnya seperti dinyatakan dalam pasal 46 (a). Contohnya adalah Fiji yang terdiri dari dua archipelago. Tetapi perairan yang terletak antara dua archipelago tersebut adalah perairan laut bebas. Indonesia tidak bersedia dianggap mempunyai lebih dari satu gugus pulau karena dengan demikian akan mengakui adanya laut bebas diantara pulau-pulau Indonesia. Itulah hakekat dari Deklarasi Juanda 1957 yang kemudian setelah perjuangan yang sangat berat dan panjang diakui dalam UNCLOS 1982 sebagai satu archipelago / gugus pulau dari Sabang (sesunguhnya dari Pulau Rondo) sampai ke Merauke.

5. Disamping itu, UNCLOS 1982 dalam pasal 49 mengakui Kedaulautan (sovereignty) Negara Nusantara atas perairan Nusantara / Perairan Kepulauan, yang mencakup juga ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya dan seluruh kekayaan alamnya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi UNCLOS 1982. Tidak jelas dalam RPP tersebut hakekat dari kewenangan Daerah Kepulauan atas perairan Kepulauan yang dituntutnya. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang tidak menyenangkan, apalagi karena hanya menyalin dari ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang dimaksudkan untuk Negara Indonesia , bukan untuk Propinsi, Kabupaten , maupun Kota.

6. Karena itu konsep Daerah Kepulauan sangat tidak sejalan dengan konsep Negara Nusantara dan Negara Kesatuan . Karena itu sangat berpotensi untuk memecah dan menghilangkan konsep Negara Kesatuan yang ber-Wawasan Nusantara. Membaca isi dan ketentuan-ketentuan yang dinyatakan dalam pasal-pasal RUU tentang PENETAPAN LUAS WILAYAH DAERAH KEPULAUAN ATAU GUGUSAN PULAU-PULAU terkesan sangat kuat bahwa draft RUU tersebut banyak menyalin dari ketentaun-ketentuan Undang-Undang Nomor 6/ 1996 yang berasal dari ketentuan UNCLOS 1982. Misalnya, ketentuan yang menyatakan bahwa Daerah dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan sepanjang 100 mil laut dengan kemungkinan 3 % dari jumlah garis pangkal lurus-nya ditetapkan bisa mencapai 125 mil seperti disebutkan dalam pasal 23 , dan bahwa lebar laut Daerah Propinsi yang 12 mil dan lebar Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di laut selebar 4 mil diukur dari garis pangkal gugusan pulau Daerah Propinsi kepulauan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam pasal 12 ayat 1. Kalau ini diterapkan , maka habislah perairan Nusantara/ perairan Kepulauan Indonesia dibagi-bagi oleh Propinsi Kepulauan. Dan kalau Propinsi Kepulauan dapat melakukan hal ini, tentunya Propinsi lainnya juga akan dapat menuntut hal yang sama karena seluruh Indonesia adalah Satu Kepulauan yaitu Satu Gugus Kepulauan Nusantara. Pasal-pasal dalam RUU ini seolah-olah berarti bahwa Daerah Propinsi / Kabupaten / Kota hendak menyamakan kedudukannya dengan NKRI yang Berwawasan Nusantara sebagai Negara Kepulauan. Sikap ini sangat berbahaya bagi kelanjutan NKRI dan Negara Kepulauan yang bercirikan Nusantara.

7. Tambahan pula, dalam konsep Negara Nusantara / Negara Kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS, diakui adanya hak-hak Negara lain melalui perairan nusantara / perairan kepulauan seperti hak lintas laut nusantara untuk pelayaran dan penerbangan International melalui alur-alur laut nusantara, hak Negara lain memelihara kabel-kabel bawah laut, hak perikanan tradisional Negara-negara tetangga tertentu sesuai dengan pengaturan tersendiri, hak-hak lainnya, seperti hak atas Zona Tambahan , Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) diluar perairan kepulauan. Bisa dipertanyakan apakah dengan mengklaim perairan daerah kepulauan, bagaimana kedudukan hak-hak negara lain tersebut atas perairan daerah kepulauan, dan apakah daerah juga akan menuntut hak-hak tertentu lainnya atas Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen diluar perairan daerah kepulauannya. Bisa dibayangkan bahwa dengan permintaan tersebut akan hancurlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bercirikan Nusantara, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 25 A Undang – Undang Dasar 1945.

8. Konsep ‘’ kepulauan propinsi/kabupaten/ kota “yang meminta adanya perairan kepulauan adalah konsep yang secara halus dapat bersifat separatis/federalis yang berbahaya yang tidak perlu diakui , apalagi jika hal tersebut ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan. Konsep ini dapat meng-’hijack’ Wawasan Nusantra NKRI dan tidak sejalan dengan Deklarasi Juanda untuk mempertebal rasa kesatuan kebangsaan , kesatuan kewilayahan dan kesatuan kenegaraan Indonesia.

9. Sayangnya Penjelasan pasal 4 ayat 2 Undang- Undang nomor 32 / 2004 seolah - olah mengiming-imingi daerah untuk mencoba memakaikan ‘prinsip negara kepulauan terhadap’ daerah yang berupa kepulauan atau gugusan pulau-pulau dalam penentuan luas wilayah. Kiranya perumusan ini dimaksudkan untuk keperluan kewenangan menyelengarakan urusan pemerintahan dan hal hal yang terkait dengan urusan itu seperti dinyatakan dalam batang tubuh pasal 4 ayat 2. Sungguh disayangkan perumusan pasal tersebut yang : maksimal dapat diartikan kebablasan, minimal dapat diartikan kurang memahami ketentuan–ketentuan UNCLOS 1982 dan jiwa dari Deklarasi Juanda 1957 serta prinsip kesatuan kewilayahan NKRI dan peranan laut sebagai penghubung dan pemersatu bangsa, bukan sebagai pemecah belah kesatuan bangsa sebagaimana terjadi di zaman penjajahan.

Jakarta, 29 Juli 2007

ttd

Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A.




Tidak ada komentar: